Peninggalan Imam Malik, Intip Keunikan Masjid Mumbul Mojokerto yang Dibangun dengan Arsitektur Unik
![]() |
Keunikan arsitektur Masjid Mumbul Mojokerto. (Dok. Istimewa) |
SUARANASIONAL.ID - Di tengah kawasan Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, berdiri sebuah masjid dengan tampilan yang berbeda dari masjid-masjid pada umumnya.
Bernama Masjid Mumbul, bangunan ini tak hanya mencuri perhatian karena arsitekturnya yang tak lazim, tapi juga karena kisah spiritual di balik pendiriannya.
Dari luar, masjid ini tampak mencolok dengan kombinasi warna hijau, putih, dan sentuhan emas. Bagian fasadnya dihiasi tulisan huruf latin, aksara Jawa, serta lengkungan khas yang menunjukkan usianya yang tak muda lagi.
Namun, hal paling unik justru terletak pada struktur bangunannya yang tidak memakai beton sama sekali.
“Warga sini mengenalnya itu Masjid Mumbul karena nggak pakai beton. Pakai bambu saja ternyata kuat sampai sekarang,” ungkap seorang warga, Muhammad Arif.
Julukan “Mumbul” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “melambung” atau “membumbung”, menggambarkan lantai dua masjid yang tampak melayang karena hanya disangga oleh bambu.
Warisan dari Kiai Imam Malik
Masjid ini dulunya menjadi bagian dari kompleks Pondok Pesantren Sambung Sari Noto Projo, atau Padepokan Mayangkoro, yang didirikan oleh almarhum Kiai Imam Malik, tokoh spiritual yang dikenal kharismatik di Mojokerto.
Ponpes ini berdiri sekitar tahun 1992, diawali dari tempat riyadhoh yang dibangun Gus Malik — sapaan akrab beliau — sebagai tempat berzikir dan kontemplasi.
“Awalnya sebelum ada Ponpes, kiai bikin tempat riyadhoh. Tambah lama tambah banyak. Tamu-tamu dari tempat lain juga ikut untuk riyadhoh di sini,” tutur sang istri, Halimatus Sa’diyah, dikutip dari Tugujatim.id Kamis (13/03/2025).
Riyadhoh tersebut berada di bagian selatan masjid, dimulai dengan melewati gerbang yang memaksa pengunjung menunduk—simbol kerendahan hati.
Di atas gerbang tertulis lafaz Arab “Hadzaa baabus salaam” dengan lafaz Allah dan Muhammad di kiri dan kanan, serta aksara Jawa di bawahnya.
Ruang riyadhoh sendiri berupa lorong gelap tanpa penerangan, dirancang agar setiap yang masuk bisa beribadah dengan khusyuk dan penuh perenungan.
“Tempat riyadhoh itu biasa dipakai para santri dulu. Juga sama tamu-tamu dari tempat lain biasa dipakai berdoa,” tambah Halimah.
Sunyi pasca wafatnya sang kiai
Sejak wafatnya Gus Malik pada tahun 2009, aktivitas ponpes mulai surut. Banyak santri pulang dan tak kembali.
Kini, hanya satu orang yang masih bermukim di kompleks pesantren, sementara masjid utamanya tetap digunakan warga sekitar untuk mengaji.
“Kalau sekarang hanya warga sekitar saja yang mengaji di masjid situ (utara tempat riyadhoh). Sudah ndak ada yang mukim di sini sejak Gus Malik wafat. Cuma tinggal satu orang saja seingat saya,” kenang Halimah.
Filosofi di balik minimnya penerangan dalam area riyadhoh pun diungkapkan Halimah. Menurutnya, sang suami memang sengaja merancang tempat itu agar pengunjung teringat pada kematian dan kondisi di alam kubur.
“Memang minim lampu (penerangan). Maksudnya tamu biar khusyuk, ingat nanti pas ada di alam lain itu seperti apa,” pungkasnya.
Masjid Mumbul Mojokerto bukan hanya tempat ibadah, tapi juga simbol spiritualitas yang mengajak setiap orang merenungi makna kehidupan. Meski sunyi, warisan Gus Malik tetap hidup lewat keheningan yang menyapa siapa pun yang datang.